Laju Pembangunan Kepulauan Sula: Antara Keberhasilan Dokumen dan Fakta Lapangan

Oleh: Mohtar Umasugi

 

Pembangunan di Kabupaten Kepulauan Sula selalu menjadi perbincangan publik, terutama ketika pencapaian yang diklaim dalam berbagai dokumen perencanaan pemerintah tidak sepenuhnya selaras dengan kondisi nyata di lapangan. Dalam setiap periode pemerintahan, dokumen-dokumen seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), serta Laporan Kinerja Pemerintah Daerah (LKPD) kerap menampilkan angka-angka impresif yang menunjukkan keberhasilan pembangunan. Namun, apakah angka-angka tersebut benar-benar mencerminkan realitas yang dialami masyarakat Sula?

Dalam berbagai dokumen resmi, pemerintah daerah sering kali menampilkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai indikator utama keberhasilan. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Sula tahun 2024 mencatat adanya pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 4,2% dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, beberapa proyek infrastruktur seperti jalan desa, jembatan, dan sarana pendidikan juga dilaporkan telah selesai sesuai target.

Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencapai 65,4 juga sering dijadikan indikator kemajuan. IPM yang mengukur aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat ini memang mengalami kenaikan, namun belum mencapai angka ideal di atas 70 yang menunjukkan kesejahteraan yang lebih merata. Pemerintah juga mengklaim bahwa tingkat kemiskinan di Kepulauan Sula menurun dari 18,2% menjadi 16,9% dalam dua tahun terakhir.

Selain itu, Bupati Kepulauan Sula juga mendapatkan berbagai penghargaan dari Pemerintah Pusat dan lembaga-lembaga berkompeten atas keberhasilan dalam sektor pembangunan. Festival Tanjung Waka, misalnya, dianggap sebagai salah satu program unggulan yang berkontribusi dalam mengangkat sektor pariwisata. Selain itu, penghargaan dalam pengelolaan anggaran juga diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap tata kelola keuangan daerah yang dinilai baik. Berbagai sektor pembangunan lainnya juga mendapatkan pengakuan dalam bentuk penghargaan yang menunjukkan adanya kemajuan secara administratif.

Namun, kondisi di lapangan tidak sepenuhnya sejalan dengan klaim keberhasilan tersebut. Salah satu contoh nyata adalah keterlambatan distribusi infrastruktur ke desa-desa terpencil yang masih terkendala akses transportasi. Jalan-jalan di wilayah pesisir dan pedalaman masih mengalami kerusakan parah, menyebabkan distribusi barang dan jasa menjadi lebih mahal dan lambat.

Dalam sektor kesehatan, meskipun laporan pemerintah menunjukkan peningkatan akses layanan kesehatan, realitasnya masih banyak puskesmas yang kekurangan tenaga medis dan fasilitas yang memadai. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kepulauan Sula tahun 2024, hanya sekitar 58% puskesmas yang memiliki tenaga dokter tetap, sementara 42% lainnya masih mengandalkan tenaga perawat dan bidan tanpa kehadiran dokter umum. Selain itu, tingkat gizi buruk di Kepulauan Sula masih menjadi masalah serius dengan angka mencapai 12,5% dari total anak balita.

Menurut Dr. Farid Akbar, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Khairun, “Keberhasilan sektor kesehatan bukan hanya tentang jumlah fasilitas yang dibangun, tetapi lebih kepada aksesibilitas dan kualitas layanan yang diterima masyarakat. Jika masih banyak masyarakat di pelosok yang kesulitan mendapatkan layanan medis, maka pembangunan belum benar-benar berhasil”.

Di sektor pendidikan, meskipun angka partisipasi sekolah mengalami kenaikan, angka putus sekolah di daerah terpencil masih cukup tinggi. Data Dinas Pendidikan Kepulauan Sula mencatat bahwa tingkat putus sekolah untuk jenjang SMP mencapai 8,3%, sedangkan untuk SMA sebesar 6,7%. Penyebab utamanya adalah keterbatasan akses transportasi, fasilitas pendidikan yang kurang memadai, serta minimnya tenaga pengajar di wilayah-wilayah terpencil.

Dr. Siti Rahmawati, seorang ahli pendidikan dari Universitas Negeri Malang menyatakan bahwa, “Pendidikan yang berkualitas harus merata hingga ke pelosok. Jika guru masih kesulitan mengakses tempat tugas dan anak-anak harus berjalan jauh ke sekolah dengan fasilitas minim, maka kesenjangan pendidikan tetap menjadi hambatan utama bagi kemajuan daerah”.

Dalam sektor ekonomi, meskipun angka kemiskinan mengalami penurunan, daya beli masyarakat masih rendah akibat harga kebutuhan pokok yang terus meningkat. Kondisi ini diperparah oleh minimnya investasi sektor riil yang dapat menyerap tenaga kerja lokal secara masif. Sejumlah nelayan dan petani mengeluhkan sulitnya akses permodalan dan ketidakpastian harga komoditas hasil pertanian dan perikanan mereka.

Mengacu pada perspektif pakar ekonomi pembangunan, Dr. Rudiansyah dari Universitas Hasanuddin menjelaskan bahwa “Laju pembangunan yang baik harus memiliki keseimbangan antara perencanaan di atas kertas dengan implementasi di lapangan”. Ia menekankan perlunya peningkatan pengawasan dalam pelaksanaan proyek infrastruktur serta transparansi dalam penggunaan anggaran daerah.

Sebagai solusi, pemerintah daerah perlu memperkuat koordinasi dengan akademisi, masyarakat, dan sektor swasta guna memastikan setiap program pembangunan benar-benar menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi proyek pembangunan harus lebih dioptimalkan agar tidak hanya menjadi angka-angka formal di atas kertas.

Pembangunan yang berkelanjutan dan berdampak nyata memerlukan kesungguhan dari seluruh pemangku kepentingan. Jika pemerintah serius ingin menciptakan perubahan, maka evaluasi berbasis data lapangan dan bukan sekadar laporan administratif harus menjadi prioritas utama. Kepulauan Sula memiliki potensi besar, tetapi tanpa kebijakan yang berbasis realitas dan eksekusi yang efektif, pembangunan hanya akan menjadi narasi tanpa substansi bagi masyarakat.***

 

 

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan