Bukber

Oleh: Junaidi Drakel

 

Matahari mulai terbit di ufuk timur. Mobil dan motor sudah mulai lalu-lalang. Pedagang kaki lima terlihat sibuk menjual dagangan mereka. Sesekali anak sekolah berseragam lengkap digonceng ayahnya lewat di jalan utama.

Andreas, adalah anak muda berusia 21 tahun. Ia berasal dari desa terpencil yang tidak punya listrik dan jaringan telepon. Sejak lulus sekolah menengah atas (SMA), ia putuskan untuk mencari pekerjaan di kota. 

Sebenarnya Andreas ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi seperti teman-temannya yang lain. Namun karena ia berasal dari keluarga yang serba kekurangan, keinginan itu hanya bisa disimpan di dalam hati.

Sebelum ke kota, Andreas sempat terpikir untuk kuliah sambil kerja. Akan tetapi terkendala lantaran ia merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Mau tidak mau lelaki yang hebat naik kelapa itu harus bekerja supaya bisa sekolahkan adik-adiknya.

Sebab, Andreas telah kehilangan ayahnya sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Pada saat itulah, lelaki yang tangannya patah akibat jatuh dari pohon kelapa itu mulai membantu ibunya untuk mencari uang agar bisa bertahan hidup.

Ketika tiba di kota, Andreas mulai mencari pekerjaan. Hampir semua tempat ia menanyakan lowongan. Tetapi belum ada yang membutuhkan. Sempat kecewa dan nyaris menyerah. Matahari tepat di atas kepala, ia kelelahan dan beristirahat sejenak di bahu jalan. 

Tempat di mana Andreas menghilangkan lelahnya itu, tak jauh dari pangkalan ojek. Ia mulai mengamati setiap motor yang keluar mengantar penumpang. Lelaki yang dijuluki Hulk oleh orang-orang kampungnya itu memberanikan diri untuk menyapa salah satu tukang ojek yang sedang tunggu penumpang. 

Ketika tiba, Andreas tak mau basa-basi. Langsung mengajukan pertanyaan inti. Kebetulan ia bertemu dengan orang baik, sehingga mendapat respons yang begitu memuaskan. Jadi, agar bisa mendapat motor untuk menjadi tukang ojek, Andreas bisa temui salah satu pengusaha motor ojek yang ada di kota itu. 

Andreas meninta lelaki yang berada di pangkalan itu untuk mengantarnya. Sesampai di rumah pengusaha, ia langsung masuk. Persyaratan untuk bisa dapatkan motor ojek, setiap orang harus memberikan kartu tanda penduduk dan alamat lengkapnya kepada pengusaha.

Akhirnya Andreas mendapatkan pekerjaan sebagai tukang ojek. Ia sangat bersemangat. Dari semua tukang ojek, dia yang paling disayang oleh bosnya. Sebab kejujuran yang membuat bosnya jatuh hati. Seminggu sekali ia mengirimkan uang kepada ibunya yang ada di kampung halaman. Tak banyak, hanya Rp250 ribu. 

Pagi itu, tepatnya di bulan Ramadan, Andreas bangun dari tempat tidur. Ia langsung menuju ke kamar mandi. Setelah itu ia pakai celana panjang, kaos oblong dan jaket. Ia semprot sedikit parfum. Dan memulai aktivitas seperti biasanya.

Pada saat antar penumpang kelima, Andreas lewat di komplex Buah Naga. Di situ ia melihat teman sekolahnya sewaktu di kampung. Namanya Rahim. Setelah menurunkan penumpang, ia cepat-cepat balik untuk temui temannya itu. 

Di kota ini, bertemu dengan orang-orang yang sama-sama dari satu kampung, bahagianya minta ampun. Mereka berdua berpelukan dan saling menanyakan kabar, karena sudah tiga tahun mereka tidak bertemu. Rahim yang merupakan anak kepala desa ini kuliah di salah satu kampus di kota itu. 

Kecerdasan Rahim membuat ia cukup terkenal di kalangan mahasiswa dan teman-teman seangkatan mereka yang ada di kota. Kebetulan, sore nanti, angkatan mereka mengadakan buka bersama (bukber). Mahasiswa semester enam itu mengajak Andreas ikut bukber. 

Mendengar ajakan itu, di dalam hatinya memang senang. Namun ada sedikit keraguan. Ia ingin menolak, tapi karena masih mau bertemu dengan Rahim, Andreas akhirnya terima ajakan itu. Andreas menitipkan uang Rp50 ribu kepada temannya itu supaya nanti ditambahkan ke teman angkatan mereka. 

“Mari kita bertukar nomor telepon. Sebentar sore pukul 17:30 kita ketemu di kafe Jarum. Di situ tempat kita adakan bukber. Kita bubar dulu, saya masih ada sedikit urusan,” kata Rahim kepada Andreas.

Waktu telah menandakan pukul 16:00. Itu jam-jam penumpang memang sedang ramai. Tetapi Andreas harus balik ke kosan untuk bersiap-siap temui Rahim di tempat bukber. Lelaki berwarna kulit saomatang ini termasuk salah satu anak muda yang paling jarang mengenangkan pakaian rapi. 

Setiba di kosan, ia buru-buru mandi. Kemudian memilih salah satu kameja terbaiknya untuk dipakai. Celana jeans yang dikenakan terlihat sedikit kusam. Sementara baju terbaiknya itu, dibeli sejak dua tahun lalu, menurutnya ini termasuk baju paling mahal yang ia beli, harganya Rp150 ribu. Lantaran jarang dipakai, sehingga terlihat masih bagus.

Andreas siap untuk pergi. Ia pakai sendal jepit yang disikat bersih. Namun, pada saat Andreas sedang berada di kamar mandi, Rahim sempat telepon. Tapi ia tidak tahu ada panggilan. Setelah keluar dari kamar hingga bersiap untuk pergi ke lokasi bukber, Andreas tidak lagi periksa handphonenya.

Dengan rasa percaya diri, Andreas menuju ke kafe Jarum. Ia langsung ke tempat parkir. Langkah kakinya pelan. Ketika sudah di depan pintu, tiba-tiba handphonenya berdering. Panggilan masuk dari Rahim. 

“Halo Andreas, saya minta maaf tidak bisa hadir di acara bukber. Tadi saya telepon mau beri tahu bahwa aku mendadak balik ke kampung karena ibu saya jatuh sakit dan dibawa ke UGD. Ayo gabung saja dengan teman-teman yang sedang bukber, di antara mereka ada Santi, salah satu teman kita waktu masih di SMA. Tadi saya juga sudah sampaikan ke teman yang lain kalau kamu mau ikut bergabung,” kata Rahim kepada Andreas. 

Mendengar informasi dari Rahim, Andreas bingung. Apakah harus masuk atau balik ke kosannya. Ia berpikir sejenak, dengan penampilan yang sudah terlanjur rapi, ia beranikan diri masuk ke dalam ruangan yang telah disewa oleh anak-anak seangkatannya. 

Tinggal 30 menit lagi buka puasa. Di kafe sangat ramai. Di saat Andreas berada di dalam ruangan, sebagian anak-anak menatapnya dengan heran. Mereka ini sebagian besar merupakan alumni di sekolah ternama yang ada di kota ini. Sementara Santi yang merupakan teman satu SMA Andreas, mereka berdua tidak begitu dekat. Wajah Santi pun ia sudah lupa. Andreas tersenyum kepada siapa saja yang melihatnya. Tapi tak dibalas.

Bermacam-macam aroma parfum tercium. Mereka yang sempat hadir, ada yang mengenakan pakaian dinas lengkap, ada yang hanya gunakan celana dinas dan kaos oblong, baju kokoh mahal, jam tangan mahal, tas mahal, sendal mahal dan handphone yang harganya puluhan juta. Seperti bukan di acara bukber, tapi pameran barang-barang mewah. 

Ada tiga meja yang ditempati beberapa anak laki-laki. Andreas memilih bergabung di salah satu meja di antaranya. Tempat yang ia pilih, topik pembahasan yang didengar, tentang perkuliahan, perkantoran, percintaan dan bisnis. Sesekali berbicara menganai kesuksesan orang tua mereka. 

Kadang-kadang mereka semua terdiam. Masing-masing fokus pada handphone. Sedangkan Andreas sendiri tidak tahu apa yang ingin ia lihat di handphonenya. Sebab ia hanya punya handphone murah yang fungsinya cuma bisa dipakai kirim pesan dan teleponan. 

Jelang berbuka puasa, hujan pun turun. Agak deras. Suhu di luar terasa dingin. Ditambah lagi kafe yang setiap sudut ruangan memiliki AC. Ketegangan belum hilang dari diri Andreas. Tubuhnya mulai berkeringat. Belum ada satu orang pun yang menanyakannya. Bingung. Bola matanya bergerak ke mana-mana. 

Tiga menit jelang berbuka puasa. Mata Andreas tertuju di bar yang bersebelahan dengan kasir. Ia berdiri dari situ dan memutuskan untuk duduk di bar. Ia pesan satu botol air mineral. Langsung dibayar. Harganya Rp 20 ribu. Masjid di dekat kafe mulai mengumandangkan adzan. 

“Alhamdulilah,” ucap Andreas dalam hati, usai meminum air. 

Andreas perhatikan setiap meja yang ditempati anak-anak seangkatannya. Mereka semua bahagia. Tertawa di mana-mana. Ada yang berdiri menunaikan salat Magrib. Ada pula yang masih menikmati banyaknya makanan yang telah dipesan. 

Andreas memegang botol air di tangan kanannya. Satu-satunya sendal jepit yang ada di dalam kafe itu mulai melangkahkan kakinya menuju ke masjid. Setelah selesai salat, hujan pun redah, ia langsung menuju ke parkiran dan mengambil motor. Balik ke kosan. Ganti pakaian. Lalu pakai lagi pakaian yang tadi siang ia kenakan. Kembali bertarung di jalan sebagai tukang ojek.(***)

 

Cerits Fiktif 

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan