Haji Mabrur: Peradaban Sosial-Ekologi dan Perlawanan Atas Setan Oligarki

Oleh: Ismunandar Marsaoly
(Warga Halmahera Timur)
Di tawaf selamat datang, air mata berlinang. Rumah asal (Ka’bah) disaksikan di depan dua kelopak mata. Perasaan asali mengawali perjalanan kembali pada kampung hakiki.
Ka’bah hanya susunan batu. Bentuknya pun sekadar kotak. Tak seperti menara Abrazal bait yang menjulang tinggi. Tetapi, dari arsitektur sederhana itu, fondasi peradaban disusun.
Mendirikan ulang Ka’bah ialah perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim As. Satu paket dengan tugas pemurnian ajaran tauhid. Ajaran yang telah disampaikan Adam As, dan nabi-nabi sebelum Ibrahim As yang di kemudian hari disimpangkan karena hasrat bermegah-megah dan perebutan kuasa.
Ka’bah bukan bangunan baru. Ia rumah bersama seluruh manusia. Dibangun sejak Khalifah pertama Adam As dicipta.
Seluruh jazirah Arab tau itu. Semua klan dalam ragam keyakinannya, bahkan dalam kemerosotan moral yang sedemikian rupa, menyimpan cerita Ka’bah yang mereka dengar dari nenek moyangnya. Mengelilingi Ka’bah ialah ritual tahunan semua orang Arab, bahkan yang paling jahiliyah sekalipun.
Sekuat ilusi zaman berusaha mengaburkan kemurnian tauhid. Patung-patung buatan manusia ditaru di sekitar Ka’bah. Bangunan tua itu tetap berjejak. Jadi petanda kemurnian tauhid dari ajaran yang dibawa oleh leluhur-leluhur orang Arab sebelumnya.
Dalam Ka’bah tak ada apa. Kosong melompong yang ada . Tetapi dari kekosongan itulah benih awal segala sesuatu hadir.
Adapaun Hajaral Aswad, ia menjadi pintu yang menyambungkan dua alam. Asal keadilan manusia dan kejatuhan manusia di dunia.
Rayuan iblis dalam kisah buah huldi diceritakan ulang oleh Ibrahim. Melontar jumroh. Jalan permusuhan dan sikap tegas untuk tidak tertipu oleh bisikan setan dalam cerita penyembelihan Ismail.
Ikhtiar Siti Hajar mencari air kehidupan. Bolak-balik antara Safa dan Marwah. Dua bukit kembar. Air kehidupan tumpah ruah dari dalam tanah tandus Makkah. Zam-zam. Persis air susu ibu yang menetes dari dua buah dadanya. Zam-zam di dada perempuan, Zam-zam di dua bukit, Safa dan Marwa.
Hajar adalah ibu peradaban. Demikian juga Ibrahim. Ia ayah segala zaman. Dari keduanya mengalir dua air. Satu bernama air susu ibu. Satu lagi air Zam-zam. Hajar tak hanya menyusui. Hajar juga bergiat mencari mata air. Zam-zam suci menyembur dari tanah tandus padang Sahara.
Perempuan, air, dan gunung-gunung selalu sama rupanya. Yang satu tempat air susu. Yang satu air zam-zam menyembur. Orang dulu menyebut alam sebagai ibu Pertiwi. Mengalirkan air dari bukit dan gunung-gunung, benarkah adanya.
Indah sungguh ibadah Haji itu. Sebab, ia tak hadir dari rekaan imajinasi manusia. Ritualnya berkaki di kenyataan. Pada kisah Ibrahim As, Hajar, dan anak keturunan mereka. Sejak ujian pengorbanan bagi penyerahan diri total, nilai hakiki air di dua buah dada dan alam raya sebagai inti sari kehidupan, hingga wukuf di Arafah.
Di padang Arafah, tak satu pun binatang melata, dan tumbuhan, boleh dibunuh. Jika membunuh nyamuk atau hewan dan tumbuhan lain, batallah wukuf yang adalah puncak ibadah haji itu.
Mabrurlah Ibrahim, Ismail dan hajar. Sifat kemanusiaan dikembalikan pada asalnya, tujuh sifat ketuhanan diserap dari-Nya. Hidup, kuasa, kehendak, ilmu, pendengaran, penglihatan, dan perasaan adalah kepunyaan-Nya.
Ketegasan menjadikan setan sebagai musuh nyata. Pelepasan kemelekatan atas yang paling dikasihi. Ujian penyembelihan Ismail. Dan kibas yang hadir sebagai buah ketaatan total pada perintah Tuhan.
Bukan darah dan dagingnya. Tetapi keteguhan hati, kepasrahan total, keimanan, dan usaha hajar mencari air kehidupan, itulah yang diakui Ilahi Rabbi.
Memotong hewan qurban sangatlah mudah. Menebas nafsu kebinatangan, sukar rasanya. Hanya kepasrahan total yang membuat nafsu kebinatangan itu dapat disembelih oleh kuasa gaib. Allah dan pisau kasih sayangnya.
Mabrurlah. Penyatuan diri dan alam semesta sebagai rupa wajah Tuhan yang nyata. Faianama tuwallu fasamma wajhah (kemanapun engakau memandang ada wajah Allah).
Manusia dan alam satu adanya. Perasaan bersatu dan menyatu itulah Tauhid hakiki. Buahnya ialah peradaban sosial ekologi. Sadar dan rasa, bahwa manusia dan alam adalah sama. Itulah haji mabrur. Haji yang sesungguh sungguhnya.
Yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, berkasih sayang pada sekalian mahluk di alam semesta. Haji Mabrur.
Setan oligarki tambang dan batu-batu lontar jumrah.
Dari dalam sumur, disusun batu batu menjulang. Disimbolkan sebagai setan. Batu batu Jumrah dileparkan.
Itu hanyalah ikrar perlawanan atas setan sebagai musuh yang nyata. Dimana wujudnya setan itu?
Ia mengambil rupa bahkan sebagai manusia oligarki dan sistem ekonomi ekstraksi yang menghina manusia dan alam. Menjadikan hulu sungai dan badannya sebagai kanal pembuangan racun tambang dan logam-logam berat.
Gunung-gunung dan bukit bukit dihancurkan tanpa perbaikan. Debu debu mengudara. Mengotori ruang ruang lepas yang sebelumnya hijau dan sehat.
Pembodohan harga tanah, dan penjara-penjara polisi atas pelindung air dan bukit-bukit hijau.
Batu-batu Jumrah harus dileparkan kepada setan-setan perusak alam dan manusia ini. Yang dibeking oleh aparat-aparat bersenjata yang dibayar. Dan oknum oknum pemerintah yang menjadi bagian dari jalan-jalan setan oligarki tambang yang merusak manusia dan alam.***